2024-06-19 HaiPress
JAKARTA,iDoPress - Memberantas judi online merupakan perang bersama bukan hanya penegak hukum. Semua lapisan masyarakat harus bergerak memerangi perilaku negatif yang belakangan semakin meresahkan di Indonesia. Demikian dikatakan pakar hukum pidana Universitas Trisakti,Abdul Fickar Hadjar.
Apalagi,menurut dia,kini judi online sudah seperti menjadi gaya hidup karena dianggap bisa memberikan kesenangan atau kebahagiaan bagi pemainnya.
Terbukti,berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) sebagaimana diberitakan Harian Kompas pada 16 Januari 2024,sedikitnya ada 3,29 juta masyarakat bermain judi online hanya pada tahun 2023,dengan total deposit menembus Rp 34,5 miliar.
Sementara itu,dari 2017 sampai 2022,PPATK menemukan 156 juta transaksi senilai Rp 190 triliun. Sehingga,diperkirakan ada sekitar 2,7 juta orang bermain judi online berdasarkan tren lima tahun tersebut.
Baca juga: Perang Terhadap Judi Online,Polisi Siber Perlu Diefektifkan dan Jangan Hanya Musiman
Dari jumlah tersebut,menurut PPATK,sekitar 79 persen atau 2,1 juta orang bertaruh dengan nominal di bawah Rp 100.000. Dengan kata lain,mengindikasikan mereka dari golongan menengah ke bawah.
Apabila data PPATK selama lima tahun tersebut ditambah data yang ditemukan sepanjang 2023,maka diperkirakan kurang lebih lima juta orang bermain judi online.
Oleh karena itu,menurut Abdul Fickar,tidak bisa hanya mengandalkan penegak hukum dalam perang melawan judi online. Tidak juga hanya melakukan pencegahan tetapi penindakan penting untuk memberikan efek jera.
“Jadi sekarang kita perangnya,perang secara total gitu,semua lini diajak untuk memerangi judi online ini. Karena sudah terbukti akibat yang paling fatal itu adalah istri bakar suami (di Mojokerto),itu penegak hukum pula,polisi pula,” katanya dalam program Obrolan Newsroom bersama Kompas.com,Selasa (18/6/2024).
Baca juga: Pakar Sebut Tak Perlu Ada Bansos Khusus Korban Judi Online,tapi...
Dia menyebut,dari sisi pencegahan,hal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan pengawasan terhadap upaya penegakan hukum terhadap pelaku dan operator judi online oleh lembaga perwakilan rakyat di pusat dan daerah,yakni DPR dan DPRD.
Kemudian,semua aparatur negara dari pusat sampai daerah harus dilibatkan dalam memberikan penyuluhan atau sosialisasi bahaya judi online. Sebab,banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa permainan yang memberikan kesenangan tersebut ternyata masuk kategori judi online.
“Penyuluhan menjadi sangat penting. Bahwa tidak semua masyarakat menganggap judi online mengerikan. Tetapi,bahkan itu menjadi mainan,sesuatu yang menggembirakan. Itu yang paling bahaya itu kan. Orang hilang (uang) seratus ribu rupiah gembira dia abis main,” ujarnya.
Dari sisi penindakan,Abdul Fickar menekankan perlunya mengefektifkan polisi siber. Sebab,judi online termasuk kejahatan siber yang pelakunya diancam dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baca juga: Habiburokhman Setuju Keluarga Pelaku Judi Online yang Miskin Terima Bansos,Ini Alasannya
Polisi siber diminta menelusuri dan menindak tegas para operator atau pelaku usaha yang terafiliasi dengan judi online. Sebab,dia meyakini bahwa judi online ini begitu masif penyebarannya karena ada operator yang memfasilitasinya di Indonesia.
"Kalau dengar informasi ada dari Hongkong,Thailand,Singapura bandar-bandarnya. Saya kira ada operatornya di Indonesia yang mempermudah peredarannya. Kalau bisa dilakukan penegakan hukum dan di bawa ke peradilan supaya memberikan contoh pada mereka yang belum melakukan,” kata Abdul Fickar Hajar.
Apalagi,informasi terbaru dari PPATK menyebutkan bahwa uang dari 5.000 rekening yang saat ini sudah diblokir terkait aktivitas judi online ternyata mengalir ke 20 negara.