2024-07-25 HaiPress
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
"The law which dominates social life is not the law which the courts declare,but the living law as it lives in the consciousness of the people." - Eugen Ehrlich dalam bukunya 'Fundamental Principles of the Sociology of Law' (1913)
SEBAGAIMANA diungkapkan oleh Eugen Ehrlich,hukum yang tepat dan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat adalah hukum yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai,kebiasaan,dan praktik yang telah diuji dan diterima oleh masyarakat.
Artinya,proses politik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi sarana untuk menyalurkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ke dalam hukum yang baku,agar hukum dapat berlaku sebagaimana mestinya.
Sejalan dengan hal tersebut,dalam bukunya "Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia" (1999),Prof. Mahfud MD mengungkapkan pemikiran mendalam tentang hubungan antara politik dan hukum.
Ia menegaskan bahwa “Politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan atau anarkis,sementara hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh.”
Pernyataan ini menggarisbawahi betapa pentingnya keseimbangan antara politik dan hukum untuk menciptakan sistem pemerintahan yang adil dan berfungsi dengan baik.
Secara sederhana,pernyataan Prof. Mahfud MD mengingatkan kita bahwa hukum dan politik tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hukum memerlukan dukungan kekuasaan politik agar bisa dilaksanakan secara efektif.
Tanpa politik,hukum hanya akan menjadi kumpulan aturan yang tidak memiliki kekuatan untuk mendorong pelaksanaannya.
Sebaliknya,politik yang tidak didasari oleh hukum akan kehilangan arah dan cenderung menyimpang. Politik memerlukan norma-norma hukum untuk menentukan batas-batas kekuasaan dan arah kebijakan.
Namun,dalam praktiknya,sering kali politik lebih dominan daripada hukum. Hal ini mengarah pada situasi di mana hukum yang seharusnya berfungsi sebagai alat keadilan dan penegakan aturan malah berubah menjadi instrumen kekuasaan yang melayani kepentingan segelintir orang.
Politik sering kali mengambil alih peran hukum dan menjadikannya alat untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak selalu memperhatikan kepentingan umum.
Ini bisa terlihat jelas dalam berbagai kebijakan dan undang-undang yang,meskipun terlihat adil di atas kertas,pada kenyataannya lebih menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas.
Contoh dari politisasi hukum ini bisa kita lihat dalam berbagai kasus yang merugikan masyarakat,terutama masyarakat hukum adat.
Misalnya,kasus pembebasan tanah untuk proyek infrastruktur juga memberikan gambaran jelas tentang ketidakseimbangan ini.
Proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol atau bandara sering melibatkan sengketa tanah dengan masyarakat lokal.
Di Jawa Barat,proyek tol Cisumdawu menciptakan konflik dengan masyarakat yang merasa hak-haknya terabaikan. Di sini,hukum seharusnya melindungi hak-hak masyarakat,namun sering kali,kepentingan politik dan ekonomi mendominasi keputusan hukum,merugikan pihak-pihak yang lebih lemah.
Selanjutnya,perlakuan terhadap aktivis lingkungan juga mencerminkan ketidakseimbangan antara politik dan hukum.
Aktivis yang melawan proyek-proyek tambang atau perkebunan sering kali mengalami intimidasi dan penganiayaan hukum yang sepertinya dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi.
Kasus-kasus di Sumatera dan Kalimantan,di mana petani dan aktivis lingkungan ditekan karena melawan kepentingan besar,menunjukkan bagaimana hukum bisa menjadi alat untuk menekan mereka yang melawan kepentingan politik.
Kasus-kasus ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara politik dan hukum agar keduanya dapat berfungsi dengan baik.
Jika tidak,hukum bisa kehilangan fungsinya sebagai alat keadilan,sementara kepentingan politik dapat mengabaikan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Pemanfaatan hukum sebagai instrumen politik merupakan fenomena yang tidak bisa diabaikan dalam sistem pembentukan hukum di Indonesia.