2024-08-13 HaiPress
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
PENGUNDURAN diri Airlangga Hartarto dari posisi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar memang agak sedikit di luar dugaan.
Dikatakan demikian karena sejatinya,sebagaimana asumsi publik,termasuk saya,pergantian beliau sebenarnya hanya menunggu waktu.
Sehingga santer diasumsikan bahwa pergantian tersebut akan terjadi secara prosedural di saat Musyawarah Nasional (Munas) Golkar pada Desember 2024 mendatang.
Namun,dikatakan "sedikit" di luar dugaan alias tidak terlalu mengagetkan lantaran secara fundamental,apa yang terjadi di tubuh Partai Golkar di penghujung kekuasaan pemerintahan yang mereka dukung bukanlah hal baru.
Partai Beringin memang biasanya "bergoyang" di saat itu datang. Secara umum,hal itu tidak hanya terjadi pada Partai Golkar sebenarnya.
Partai-partai politik yang selalu mencari cara untuk menjadi bagian dari kekuasaan akan berpeluang mengalami goncangan,atau tepatnya goyangan,di penghujung kekuasaan yang mereka topang atau di awal kekuasaan baru yang mereka dukung atau tidak mereka dukung.
Jadi apa yang terjadi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) baru-baru ini,di mana Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar alias Cak Imin bersitegang dengan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Tsaquf layak dipandang dalam kacamata yang sama.
Di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),PKB digeruduk oleh Cak Imin Cs,lantaran Cak Imin adalah faksi politik di dalam tubuh PKB saat itu yang mendukung pemerintahan SBY,sementara faksi Gus Dur mau tidak mau harus minggir dulu.
Di awal pemerintahan SBY pula Jusuf Kalla mengambil alih pucuk pimpinan Golkar,setelah berhasil terpilih sebagai wakil presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono,yang awalnya justru pencalonan JK tak di-endorse oleh Golkar.
Lalu pada awal pemerintahah Jokowi,karena PKB sedari awal adalah salah satu partai utama pengusung Jokowi,Cak Imin terbilang aman dari goyangan.
Migrasi dukungan politik PKB dari SBY ke Jokowi berjalan sangat baik,sehingga Cak Imin bertahan dengan stabil di tampuk kekuasaan PKB sampai hampir 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi.
Namun,Golkar justru gonjang ganjing karena pada Pilpres 2014,tak bersama Jokowi. Golkar justru mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa.
Seteru antara Agung Laksono dan Setya Novanto lahir di mana muncul dua kongres yang berbeda di dua lokasi.
Dan keberuntungan politik mendekati Airlangga Hartarto setelah seteru dimenangkan oleh Setya Novanto (Setnov).
Nah,kasus hukum yang menimpa Setnov,membuka peluang bagi Airlangga untuk naik pangkat menjadi Ketum DPP Golkar.
Meskipun dikabarkan hanya menguasai faksi terbatas di dalam partai,terbukti Airlangga bertahan cukup stabil hingga jelang Pilpres 2024,karena berhasil mengukuhkan dukungan Partai Golkar ke Istana.
Dianggap sebagai sekutu strategis Jokowi,baik secara elektoral maupun di dalam pemerintahan,Airlangga tak pelak menjadi "Jokowi's Man" di arena politik di satu sisi dan juga dianggap sebagai "operator politik" Luhut Binsar Panjaitan (LBP) di dalam Partai Golkar di sisi lain,sosok gigantis lainnya yang dianggap jauh lebih dulu menjadi "endorser" Jokowi ketimbang Partai Golkar dan Airlangga.
Mengapa pola seperti itu kerap terjadi di Partai Golkar dan PKB,tapi agak jarang terdengar di partai besar lain?
Jawabannya tentu karena kedua partai politik ini tak terlalu terikat lagi dengan tokoh besar dan trah tertentu.
Relasi kekuasaan di dalam kedua partai terbilang cukup cair dan divergen,berbeda dengan partai-partai politik besar lainnya yang sangat kental penguasaan satu figur atau satu trah keluarga,sehingga cukup sulit digoyang.
Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan trah Sukarno,Partai Gerindra dengan nama besar Prabowo Subianto,Partai Nasdem di bawah Surya Paloh,dan lainnya.
Kekuatan politik Cendana melemah di dalam Partai Golkar setelah Orde Baru tumbang. Sehingga model relasi kekuasaan di dalamnya kembali ke interaksi kepentingan faksi-faksi politik internal partai.
Namun akibat terlalu banyaknya kekuatan yang ada di dalamnya,untuk memunculkan satu sosok sangatlah sulit.