2024-08-23 HaiPress
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
SEJARAH demokrasi Indonesia selama 79 tahun sejak kemerdekaanya selalu mengalami pasang surut. Tragisnya aktor perusak demokrasinya selalu elite politik dan tidak pernah mau ambil pelajaran dari sejarah.
Misalnya,belajar dari sejarah jatuhnya Soekarno,sejarah jatuhnya Soeharto,sejarah jatuhnya Gus Dur,atau sejarah hampir jatuhnya SBY dan terakhir ini hampir jatuhnya Jokowi.
Kini di lima tahun terakhir ini kembali elite politik merusak demokrasi bertubi-tubi,hingga soal terakhir upaya DPR 'merobek' putusan MK No 60 dan 70 tahun 2024 yang demokratis dan konstitusional itu.
Jika dicermati dalam terminologi teori elite dan aktor politik kita bisa meneropong tabiat elite politik Indonesia sejak orde lama,orde baru,orde reformasi hingga saat ini.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa elite politik Indonesia mudah terjebak dalam kerangkeng hasrat politik 'aji mumpung',politik kartel,nepotis dan oligark.
Mumpung berkuasa,apapun demi kekuasaanya ia lakukan. Dalam area kuasa mereka meyakini segala urusan kuasa bisa dibeli.
Untuk bisa melanggengkan kuasa,maka anak,menantu,saudara harus disiapkan masuk lapisan elite politik baru untuk melanjutkan kuasanya atau mengamankan kuasanya. Konyolnya mereka tunduk pada oligark,bahkan menjadi oligarki politik baru.
Turunan teoritiknya dalam membaca politik Indonesia,misalnya,dalam lima tahun terakhir ini berada pada kesimpulan autocratic legalism,oligark,new-despotism,dan kleptokratis.
Menurut K.L.Scheppele dalam artikelnya yang berjudul autocratic legalism (2018) mengemukakan bahwa autocratic legalisme itu terjadi ketika kekuasaan deploy the law to achieve their aims,autocracy may not be evident at the start.
Meskipun kekuasaan pada awalnya dipilih secara demokratis,tetapi seiring berjalanya waktu penguasa lakukan manipulasi hukum demi kepentingan kuasa. Bukan untuk membangun demokrasi,apalagi untuk kepentingan rakyat banyak.
Revisi UU KPK tahun 2019,Perpu omnibuslaw UU Cipta Kerja tahun 2020,putusan MK No. 90 tahun 2023,dan putusan MA No. 23 tahun 2024 yang mau diadopsi oleh DPR dengan membatalkan putusan MK No. 60 dan No. 70 adalah contoh-contoh autocratic legalism.
Menurut Jefry A. Winters dalam bukunya Oligarchy (2012) menjelaskan bahwa para oligark secara politik akan selalu melakukan wealth defence dengan tujuan mengintervensi dan mengatur kekuasaan.
Parahnya penguasa menikmati situasi itu karena upeti yang melimpah. Situasi ini secara empirik terjadi di Indonesia.
Tahun 2020,John Keane pernah menulis buku berjudul The New Despotism (2020). Dalam buku itu Keane di antaranya menjelaskan bahwa soal pseodo-democracy yang dipimpin para penguasa yang ahli dalam seni memanipulasi dan melakukan intervensi kepada warga negara.
Parahnya,meski demokrasi manipulatif terjadi,tidak sedikit rakyat yang mendukung karena kebodohanya atau dalam bayang-bayang represi. Situasi ini nampak terlihat dalam lima tahun terakhir ini.